Penerimaan PNS Dimoratorium, Belanja Pegawai Hemat 25 Persen
13 Juli 2020, 09:00:00 Dilihat: 387x
Jakarta -- Sejumlah ekonom memandang keputusan pemerintah untuk memoratorium rekrutmen calon pegawai negeri sipil (PNS) selama lima tahun ke depan akan menghasilkan penghematan bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Penghematan khususnya dihasilkan dari pos belanja pegawai yang biasanya menelan dana paling besar dalam pos belanja kementerian/lembaga (k/l).
Sebagai informasi, rencana moratorium penerimaan CPNS tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 77/PMK.01/2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2020-2024.
Dalam aturan itu dijelaskan, penurunan pertumbuhan (minus growth) pegawai ditargetkan pada rentang minus 1,2 persen hingga minus 2,2 persen dalam kurun waktu lima tahun terhitung sejak 2020 hingga 2024. Dengan persentase tersebut, maka rata-rata penurunan jumlah pegawai per tahun yang diharapkan sebesar minimal 800 hingga 1.800 orang.
Ekonom Indef Bhima Yudhistira memperkirakan belanja pegawai akan lebih hemat sekitar 15 persen sampai 25 persen dibandingkan sebelum-sebelumnya selama lima tahun ke depan. Jumlahnya masih di bawah 50 persen, karena moratorium rekrutmen tidak termasuk TNI dan Polri.
"Belum bisa (penghematan sampai 50 persen) karena yang dimoratorium tidak seluruh aparatur sipil negara (ASN) seperti TNI dan Polri. Jadi setidaknya bisa menghemat 15 persen sampai 25 persen, tapi itu sudah cukup besar. Ini kumulatif sampai lima tahun," ungkap Bhima kepada CNNIndonesia.com, Rabu (8/7).
Ia bilang keputusan pemerintah untuk melakukan moratorium amat tepat. Menurut dia, sebagian dana yang biasanya dialokasikan untuk belanja pegawai bisa direalokasi untuk belanja yang lebih produktif atau stimulus ekonomi.
"Belanja pegawai ini porsinya kan besar, ini akhirnya membuat belanja yang lebih produktif misalnya belanja modal jadi tergerus. Dengan penghematan anggaran maka bisa dialokasikan untuk stimulus ekonomi," terang Bhima.
Selain itu, moratorium PNS juga bisa menjadi momentum bagi pemerintah untuk melakukan transformasi digital besar-besaran dalam sistem birokrasi di instansi pemerintahan. Dengan demikian, pekerjaan rutin yang selama ini masih dikerjakan oleh PNS bisa digantikan dengan teknologi.
Kemudian, PNS yang biasanya mendapatkan tugas rutin bisa dialihkan ke tempat yang lebih produktif. Dengan kata lain, ada percepatan jenjang karir bagi PNS.
"Jadi untuk PNS yang pekerjaannya rutin itu bisa digantikan dengan teknologi. Jenjang karir bisa dipercepat untuk menempati posisi jabatan strategis, sehingga untuk pekerjaan rutin ini bisa diubah dengan teknologi," kata Bhima.
Pemerintah bisa fokus untuk meningkatkan kemampuan dari masing-masing PNS dengan memberikan pelatihan. Hal ini akan menguntungkan berbagai pihak.
Bhima menyatakan kemampuan PNS akan meningkat dan sistem birokrasi di instansi pemerintahan yang terkenal lambat bisa dipercepat jika menggunakan teknologi. Alhasil, pelayanan untuk masyarakat juga bisa dipercepat.
"Birokrasi ini misalnya perizinan, nantinya dengan teknologi jadi birokrasi lebih cepat. SDM yang ada juga kemampuannya bisa ditingkatkan. Ini momentum yang bagus," jelas Bhima.
Sementara, ia menyatakan kebijakan moratorium PNS akan mempengaruhi penyerapan tenaga kerja di Indonesia. Namun, pemerintah bisa memberikan banyak stimulus ekonomi kepada sektor swasta dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) agar terbuka banyak lapangan pekerjaan bagi masyarakat.
"Ini kan fungsi pemerintah memang serap tenaga kerja tapi sebaiknya tidak diserap ke PNS, tapi tugas pemerintah kalau mau buka lapangan pekerjaan itu berikan stimulus untuk sektor swasta dan BUMN. Di situ lebih membutuhkan SDM yang produktif daripada instansi pemerintahan," kata Bhima.
Senada, Ekonom UI Fithra Faisal berpendapat SDM di instansi pemerintahan sendiri sudah cukup banyak. Namun, banyaknya pegawai di instansi pemerintahan nyatanya tak menjamin kinerja dari masing-masing kementerian/lembaga di Indonesia.
"Justru dengan seiring bertambahnya kuantitas, kualitas belum tentu naik. Berarti itu kan ada masalah produktivitas. Saya rasa itu mulai disadari Kementerian Keuangan. Tentu anggaran besar yang belanja pegawai ini bisa dialihkan ke anggaran lain yang lebih produktif," papar Fithra.
Sama halnya seperti Bhima, ia menyatakan moratorium PNS akan berdampak pada penyerapan tenaga kerja. Namun, anggaran yang biasanya dialokasikan untuk belanja pegawai bisa direalokasi untuk hal-hal yang lebih produktif, seperti stimulus ekonomi ke sektor swasta atau Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).
Apalagi, banyak industri yang kini sedang terkena dampak dari pandemi virus corona. Saat ini, pemerintah justru bisa mengalokasikan dana lebih untuk menggenjot lagi dunia usaha.
"Dan saya rasa ini bisa dimaklumi karena pemerintah ada fokus dalam bidang lain. Ada fokus ke sektor yang membutuhkan pemulihan ekonomi seperti UMKM dan bantuan sosial (bansos)," jelas Fithra.
Diketahui, pemerintah mengalokasikan dana untuk belanja pegawai sebesar Rp260,08 triliun dalam Perpres 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020. Realisasinya hingga 31 Mei 2020 baru sebesar Rp95,41 triliun atau turun 4,22 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya.
Secara keseluruhan, total belanja kementerian/lembaga ditargetkan sebesar Rp836,54 triliun. Namun, realisasinya batu 32,34 persen atau Rp270,57 triliun.
Sementara, belanja non kementerian/lembaga ditargetkan sebesar Rp1.014,57 triliun. Dengan demikian, total belanja pemerintah pusat sebesar Rp1.851,1 triliun.
Sumber : cnnindonesia.com